KEBIJAKSANAAN KREDIT PERTANIAN : KASUS KREDIT USAHATANI
Posted by dedisufyadi on Feb 24, 2012 in Tulisan Ilmiah |
ABSTRACT
The study tries to elaborate policy problems in
frame of agricultural politics. The case which is tried to uncover is
related to the policy of agricultural credit, especially of Kredit
Usahatani (KUT). The method used is a desk stdy, deduction and with
empirical experiences coloring the study.
The study result indicates that among the
problems encircled the agricultural credit policy in Indonesia, vested
interests of immoral people is the mayor cause, due to the weakness of
controlling system and bad image of the rulling government. It is
recommended that the moral improvement should point not only to
bureaucracy but also to non governmental organizations.
_________
Key Words :agricultural politics, credit policy, bureaucracy.
ABSTRAK.
Kajian ini bertujuan untuk mencoba mengaplikasi
permasalahan-permasalahan kebijakan dalam kerangka politik pertanian.
Kasus yang dicoba untuk diungkap menyangkut kebijakan kredit pertanian,
terutama Kredit Usahatani (KUT). Metode yang digunakan adalah pendekatan
desk study, melalui deduksi berikut pengalaman empirik turut mewarnai
kajian ini.
Hasil kajian menunjukkan bahwa, dari beberapa
problema yang melilit kebijaksanaan kredit pertanian di Indonesia, pada
intinya lebih disebabkan oleh munculnya kepentingan pribadi dari orang
yang tidak bermoral, akibat lemahnya sistem kontrol/kendali dan buruknya
citra Pemerintah yang sedang berkuasa. Disarankan bahwa, perbaikan
sistem kontrol/kendali dari orang yang bermoral dilakukan tidak hanya di
jajaran birokrasi pemerintah, tetapi juga penting sekali adanya di
jajaran organisasi non pemerintah.
_________
Key words : politik pertanian, kebijakan kredit, birokrasi.
__________
*) Penulis, dosen Fak. Pertanian Univ. Siliwangi Tasikmalaya.
PENDAHULUAN
Kredit Usahatani (KUT) merupakan sebuah nama
dari kebijaksanaan kredit pertanian di Indonesia yang paling popular
kegagalannya. Kegagalan yang diukur oleh besaran tunggakannya. Menurut
perpustakaan. Bapenas.go.id (akses, 1-1-2011) tunggakan KUT di
Tasikmalaya mencapai Rp. 52 milyar.
Menurut www.suarakarya-online.com
(23/12-2002) di seluruh Indonesia tunggakan KUT menjerat utang 13.488
koperasi yang mencapai Rp.5,805,- trilyun. Tingginya tunggakan KUT dapat
di lihat dari semenjak dikucurkan tahun 1995 hingga tahun 2000 mencapai
Rp. 7,2 trilyun atau 68,5 persen dari total kredit (Tempo Interaktif.Com, 28/1-2002 .Berita.liputan6.com
(24/1-2005) pun melansir bahwa, KUT sepanjang lima tahun terakhir
hingga tahun 2005 yang mencapai sedikitnya Rp. 5 trilyun masih belum
dapat diselesaikan.
KUT dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk
instrument dari riwayat perBIMASan sejak tahun 1961/1962 yang bersifat
developmental policy (Moeljadi Banoewidjojo, 1983 dan Sri Widodo, 1980).
Bimbingan Massal itu sendiri yang pada awalnya
berjalan baik bahkan sukses dalam perkembangan selanjutnya ternyata
makin lama makin banyak kredit yang tak kembali, sebagian tertahan pada
petani dan sebagian tertahan pada pihak-pihak lain seperti pamong desa
dan pejabat dari lain-lain Instansi. Karena kegagalan ini, maka
pemerintah menetapkan kebijakan baru dalam perkreditan sebagai pengganti
KUT, yaitu kebijakan kredit Ketahanan Pangan (Zaini Amin, 2001).
PERUMUSAN MASALAH
Kajian ini ingin berusaha untuk dapat merangkum
mengapa KUT gagal ?. Apakah kegagalan tersebut terletak pada tujuan
kebijakan yang kurang tajam ??. Apakah kegagalan tersebut terletak pada
prosesnya ?. Apakah kegagalan tersebut terletak pada kelembagaannya atau
pada aktor nya ?. Adakah problema-problema lainnya ?. Selanjutnya siapa
yang diuntungkan/dirugikan oleh kebijakan ini ?. Dan yang terpenting
bagaimana upaya pemecahannya ?. Adanya deskripsi permasalahan ini
diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas kepada kebijaksanaan
kredit pertanian Indonesia yang pada gilirannya kita menjadi lebih
dewasa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbicara tentang konsep, menurut Frank Ellis
(1992), kredit pertanian merupakan pembentukan kapital di pedesaan.
Sejak tahun 1950 dan awal tahun 1960 kredit pertanian diperuntukkan
untuk memotong vicious circle atas rendahnya income, guna mendorong pertumbuhan output
pertanian melalui peningkatan kinerja petani, penerapan teknologi baru
terutama bagi petani kecil. Di samping itu kebijakan kredit pertanian
memiliki tujuan untuk kepentingan politik. Dengan demikian tujuan
kebijakan kredit pertanian lebih berorientasi kepada equity ketimbang efisiensi.
Kredit pertanian di Indonesia erat kaitannya dengan
BIMAS. Bimbingan Massal (BIMAS) adalah suatu manajemen pembangunan
pertanian, untuk menggerakkan partisipasi petani secara missal, agar
produktivitas nya meningkat. Oleh karena nya kebijakan KUT memiliki
sifat developmental policy. Developmental policy adalah suatu kebijakan yang ditekankan pada supply function dari komoditi dan resources. Mempunya pengaruh menaikkan supply.
Kredit usahatani (KUT) yang sempat digulirkan tahun
1984/1985 melalui beberapa KUD terplih digulirkan kembali pada tahun
1998. Dasar ketentuan tentang kebijakan ini adalah SK Bank Indonesia No.
31/24.A/KEP/DIR. Tanggal 7 Mei 1998 dan SE No. 31/7/UK. Tanggal 2 Juli
1998. Kemudian diperkokoh oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 31/164/KEP/DIR, tanggal 8 Desember 1998, namun pada akhirnya hancur
juga oleh permasalahan yang menggurita.
KUT adalah kredit modal kerja yang
diberika melalui Bank pemberi kredit kepada Koperasi primer atau
Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai pelaksana pemberian kredit untuk
keperluan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani guna membiayai
usahayani nya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan
hortikultura. Bertujuan untuk memberdayakan petani dalam rangka mencapai
kembali swasembada pangan.
Bank pemberi kredit adalah Bank
Umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun
1998.
Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh
dan beranggotakan orang-seorang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 25 tahun 1999, tentang perkoperasian, termasuk koperasi unit desa
atau KUD selanjutnya di sebut Koperasi.
Lembaga Swadaya Masyarakat adalah
suatu organisasi non pemerintah yang dibentuk oleh masyarakat dan dalam
kegiatan operasionalnya tidak mencari untung (nirlaba).
Kelompok Tani adalah kumpulan petani yang dibentuk atas dasar kebutuhan bersama dan berada dalam 1 (satu) hamparan.
KUT merupakan salah satu jenis dari skim kredit
program yang dicanangkan Pemerintah untuk Koperasi Pengusaha Kecil dan
Menengah. Skim tersebut seluruhnya berjumlah 13 jenis. Kebijakan
Pemerintah ini bila ditengarai merupakan kesadaran Pemimpin Negara yang
terlalu dekat dengan konglomerat yang banyak utang nya di tengah-tengah
krisis ekonomi yang sedang berlangsung.
KUT sebagai instrument dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Usaha-usaha yang dibiayai seperti, intensifikasi padi, palawija; dan hortikultura.
2. Jangka waktu : Maksimum satu tahun terhitung sejak akad.
3. Suku bunga sebesar, 10,5 persen (including fee bank
= 2 persen, imbalan PPL = 1 persen; imbalan Koperasi/LSM = 5 persen;
pembayaran premi kepada Perum PPK = 1,5 persen; dana titipan pemerintah =
1 persen).
4. Jaminan : kelayakan usaha.
5. Delivery system : Bank,
Koperasi / LSM, Kelompok Tani, PPL, Dep. Koperasi (PKM) dengan prosedur :
pertama, permohonan diajukan oleh Kelompok Tani dalam bentuk RDKK
kepada Koperasi atau LSM. Ke dua, Koperasi atau LSM menyampaikan
permohonan KUT kepada Kantor Bank setempat dalam bentuk rekapitulasi
RDKK disertai dengan RDKK masing-masing Kelompok Tani. Ke tiga,
penarikan kredit dilakukan oleh Koperasi/LSM sesuai dengan rencana
penarikan KUT yang diajukan berdasarkan RDKK. Ke empat, untuk penarikan
KUT, Koperasi/LSM harus menyerahkan surat pengakuan utang (surat aksep)
yang ditandatangani oleh pengurus Koperasi/LSM.
Berbicara tentang permasalahan, kegagalan KUT
dapat dilihat dari besarnya permasalahan itu sendiri. Permasalahan yang
tampak itu berupa besar nya tunggakan. Permasalahan yang berkaitan
dengan tujuan, memang tujuan utama sering kali terbiaskan oleh tujuan
yang berorientasi kepada kepentingan politik.
Tampaknya sudah disadari oleh para pengambil
kebijakan bahwa, kredit tani itu secara politis penting, tetapi secara
teknis sulit dilaksanakan (R. Tjipto Adinugroho, 1973). Bila diamati
lebih jauh pemkiran tentang kredit di Indonesia bersifat statis dengan
tujuan terutama untuk menyelamatkan petani dari pelepas uang dan sistem
ijon. Keunggulan sistem ijon ialah mudah, cepat dan tepat, sedangkan
keunggulan kredit pemerintah adalah bunga murah (Mubyarto, 1989). Namun
pada dasarnya bagi petani itu makin banyak sumber keredit makin baik.
Melencengnya tujuan pemberian kredit lebih
disebabkan oleh adanya sistem target yang ditentukan oleh atasan. Makin
besar target tercapai, makin tinggi lah prestasi pejabat yang
bersangkutan, padahal target tercapai belum tentu menunjukkan
keberhasilan. Persoalan diikatnya pemberian kredit dengan keharusan
komoditas yang diusahakan, turut memperbesar melencengnya pemberian
kredit kepada petani.
Penajaman tujuan dalam kebijaksanaan kredit
pertanian ini diperlukan baik yang menyangkut aparat kelembagaan dan
kelompok sasaran. Baik secara politis maupun teknis tujuan pemberian
kredit itu dalah untuk mendorong motivasi petani, sehingga pada
gilirannya tercipta peningkatan kesejahteraan petani yang bersifat equity.
Permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan
sebenarnya tidak tampak kepermukaan. Malahan jaringan kelembagaan BIMAS
Intensifikasi Pertanian tampak nya sudah mantap. Jadi permasalahan yang
muncul terletak pada aktor-aktornya. Ini lah kendala yang melilit kasus
KUT, yaitu adanya penyelewengan oleh oknum yang terlibat dalam proses
penyaluran dan pengembalian. Katakan lah Ketua LSM yang cenderung
memiliki penyakit rent seeking; sang PPL yang kurang jujur, senang melakukan fiktif tentang petani yang butuh kredit.
Solusinya di sini jelas diperlukan perbaikan sistem
kontrol/kendali pada orang yang menyangkut moral, iman dan taqwa. Taqwa
tidak lah sekedar baju atau pun penampilan gaya pesantren, tetapi
menyangkut memenuhi aturan Allah dan menjauhi larangan Nya. Bahkan
sebaik nya tidak cukup menjauhi larangan Nya tetapi kita harus mampu
untuk tidak melaksanakan apa-apa yang tidak diperintahkan Nya.
Problema lainnya yang menyangkut kredit pertanian ini cukup kompleks. Di samping persoalan cost of living
dan ketiadaan jaminan yang melilit petani kita, juga patut disadari
bahwa kredit pertanian ini bukan lah syarat mutlak pembangunan
pertanian, karena yang mutlak adalah mendorong motivasi petani untuk
menerapkan teknologi (A.T. Mosher, 1978). Artinya, kredit pertaian dapat
berfungsi, jika tersedia input produksi untuk dibeli secara lokal.
Bila ditelaah lebih dalam problema yang meghambat kebijaksanaan kredit di lapangan sangat lah banyak. Masing-masing barrier memiliki kaitan dengan barrier lainnya.
Katakan lah, tiada nya sanksi kepada kelompok atau individu yang tidak
dapat mengembalikan modal tepat waktu akan berakibat pada bantuan yang
pada awalnya berupa pinjaman ini, oleh masyarakat seringkali dianggap
sebagai bantuan murni.. Begitu pula ketidakberhasilan kelompok untuk
mengembalikan modal ini, tidak terlepas dari proses pemanfaatan modal
tersebut. Dalam hal ini adalah jenis usaha yang dipilih oleh kelompok
tersebut. Idealnya jenis usaha ini ditentukan oleh kelompok
(partisipatif) dan sesuai dengan kemampuan dan prospek ekonomi dari
jenis usaha tersebut (Ganjar Kurnia, 1996). Jadi sebaiknya sudah harus
dihindari apa itu yang bernama penyeragaman pola dan komoditas dalam
kebijakan pembangunan pertanian.
Ada lagi satu hal yang patut disorot tentang penyebab KUT gagal ini. Barrier yang
dimaksud adalah masuknya berbagai instansi ke pedesaan ini ada kalanya
tidak diikuti dengan metode pendekatan yang sama. Sebagaimana diketahui
metode pemberian modal ke pedesaan itu meliputi : sistem perguliran
(revolving), semi partisipatif, kontributif, kredit (KUT), sinterklas
(yang sering kali dilakukan oleh Negara donor). Jadi adanya perbedaan
metode pendekatan ini selain membingungkan masyarakat, sampai tingkat
tertentu dapat pula mengganggu kegiatan pembangunan secara keseluruhan.
Pengalaman menunjukkan, bahwa ada beberapa kegiatan yang dirancang
dengan model partisipatif, namun karena masyarakat melihat adanya
beberapa kegiatan pembangunan lain yang diperoleh secara gratis dan
bahkan untuk sekedar duduk pun dibayar, maka kegiatan pembangunan yang
bersifat partisipatif tersebut akhirnya gagal total.
KUT sebagai produk sebuah kebijakan memiliki dampak
ke berbagai fihak, baik fihak kelompok sasaran yaitu petani maupun
pihak lainnya yaitu pelaku yang terlibat dalam program tersebut bahkan
masyarakat desa keseluruhan.
Pihak-pihak yang mendapat side effect positif diantara nya :
- Petani, karena dengan adanya dana tersebut setidaknya telah membantu mereka untuk membelisarana produksi dan biaya hidup selama usaha belum menghasilkan.
- Pengusaha atau Lembaga yang bergerak di bidang memproduksi dan menyediakan input pertanian, dengan adanya KUT akan meningkatkan volume jual input pertanian.
- Lembaga yang terlibat dalam penyaluran KUT melalui income fee.
- Pemerintah, karena beban yang ditanggung akibat ulah sebagian besar konglomerat terlindungi oleh kemacetan pengembalian KUT.
Pihak-pihak yang mendapat side effect negative, diantaranya :
- Petani dan pihak lainnya, karena kejujurannya.
- Pemerintah, karena harus menyediakan dana untuk flafound kredit, apa lagi jika sumbernya dari utang Luar Negeri.
PENUTUP.
Beberapa problema yang melilit kebijkasanaan kredit
pertanian di Indonesia, pada intinya lebih disebabkan oleh munculnya
kepentingan pribadi dari orang yang tidak bermoral, akibat lemahnya
sistem kontrol/kendali dan buruknya citra pemerintah yang sedang
berkuasa.
Perbaikan sistem kontrol/kendali dari orang yang
bermoral dilakukan tidak hanya di jajaran birokrasi, tetpi juga penting
sekali ada nya di jajaran organisasi LSM dan Koperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar