Senin, 04 Maret 2013

KEBIJAKSANAAN KREDIT PERTANIAN : KASUS KREDIT USAHATANI

 

KEBIJAKSANAAN KREDIT PERTANIAN : KASUS KREDIT USAHATANI

Posted by dedisufyadi on Feb 24, 2012 in Tulisan Ilmiah |
ABSTRACT
The study tries to elaborate policy problems in frame of agricultural politics. The case which is tried to uncover is related to the policy of agricultural credit, especially of Kredit Usahatani (KUT). The method used is a desk stdy, deduction and with empirical experiences coloring the study.
The study result indicates that among the problems encircled the agricultural credit policy in Indonesia, vested interests of immoral people is the mayor cause, due to the weakness of controlling system and bad image of the rulling government. It is recommended that the moral improvement should point not only to bureaucracy but also to non governmental organizations.
_________
Key Words :agricultural politics, credit policy, bureaucracy.
ABSTRAK.
Kajian ini bertujuan untuk mencoba mengaplikasi permasalahan-permasalahan kebijakan dalam kerangka politik pertanian. Kasus yang dicoba untuk diungkap menyangkut kebijakan kredit pertanian, terutama Kredit Usahatani (KUT). Metode yang digunakan adalah pendekatan desk study, melalui deduksi berikut pengalaman empirik turut mewarnai kajian ini.
Hasil kajian menunjukkan bahwa, dari beberapa problema yang melilit kebijaksanaan kredit pertanian di Indonesia, pada intinya lebih disebabkan oleh munculnya kepentingan pribadi dari orang yang tidak bermoral, akibat lemahnya sistem kontrol/kendali dan buruknya citra Pemerintah yang sedang berkuasa. Disarankan bahwa, perbaikan sistem kontrol/kendali dari orang yang bermoral dilakukan tidak hanya di jajaran birokrasi pemerintah, tetapi juga penting sekali adanya di jajaran organisasi non pemerintah.
_________
Key words : politik pertanian, kebijakan kredit, birokrasi.
__________
*) Penulis, dosen Fak. Pertanian Univ. Siliwangi Tasikmalaya.
PENDAHULUAN
Kredit Usahatani (KUT) merupakan sebuah nama dari kebijaksanaan kredit pertanian di Indonesia yang paling popular kegagalannya. Kegagalan yang diukur oleh besaran tunggakannya. Menurut perpustakaan. Bapenas.go.id (akses, 1-1-2011) tunggakan KUT di Tasikmalaya mencapai Rp. 52 milyar.
Menurut www.suarakarya-online.com (23/12-2002) di seluruh Indonesia tunggakan KUT menjerat utang 13.488 koperasi yang mencapai Rp.5,805,- trilyun. Tingginya tunggakan KUT dapat di lihat dari semenjak dikucurkan tahun 1995 hingga tahun 2000 mencapai Rp. 7,2 trilyun atau 68,5 persen dari total kredit (Tempo Interaktif.Com, 28/1-2002 .Berita.liputan6.com (24/1-2005) pun melansir bahwa, KUT sepanjang lima tahun terakhir hingga tahun 2005 yang mencapai sedikitnya Rp. 5 trilyun masih belum dapat diselesaikan.
KUT dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk instrument dari riwayat perBIMASan sejak tahun 1961/1962 yang bersifat developmental policy (Moeljadi Banoewidjojo, 1983 dan Sri Widodo, 1980).
Bimbingan Massal itu sendiri yang pada awalnya berjalan baik bahkan sukses dalam perkembangan selanjutnya ternyata makin lama makin banyak kredit yang tak kembali, sebagian tertahan pada petani dan sebagian tertahan pada pihak-pihak lain seperti pamong desa dan pejabat dari lain-lain Instansi. Karena kegagalan ini, maka pemerintah menetapkan kebijakan baru dalam perkreditan sebagai pengganti KUT, yaitu kebijakan kredit Ketahanan Pangan (Zaini Amin, 2001).
PERUMUSAN MASALAH
Kajian ini ingin berusaha untuk dapat merangkum mengapa KUT gagal ?. Apakah kegagalan tersebut terletak pada tujuan kebijakan yang kurang tajam ??. Apakah kegagalan tersebut terletak pada prosesnya ?. Apakah kegagalan tersebut terletak pada kelembagaannya atau pada aktor nya ?. Adakah problema-problema lainnya ?. Selanjutnya siapa yang diuntungkan/dirugikan oleh kebijakan ini ?. Dan yang terpenting bagaimana upaya pemecahannya ?. Adanya deskripsi permasalahan ini diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas kepada kebijaksanaan kredit pertanian Indonesia yang pada gilirannya kita menjadi lebih dewasa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbicara tentang konsep, menurut Frank Ellis (1992), kredit pertanian merupakan pembentukan kapital di pedesaan. Sejak tahun 1950 dan awal tahun 1960 kredit pertanian diperuntukkan untuk memotong vicious circle atas rendahnya income, guna mendorong pertumbuhan output pertanian melalui peningkatan kinerja petani, penerapan teknologi baru terutama bagi petani kecil. Di samping itu kebijakan kredit pertanian memiliki tujuan untuk kepentingan politik. Dengan demikian tujuan kebijakan kredit pertanian lebih berorientasi kepada equity ketimbang efisiensi.
Kredit pertanian di Indonesia erat kaitannya dengan BIMAS. Bimbingan Massal (BIMAS) adalah suatu manajemen pembangunan pertanian, untuk menggerakkan partisipasi petani secara missal, agar produktivitas nya meningkat. Oleh karena nya kebijakan KUT memiliki sifat developmental policy. Developmental policy adalah suatu kebijakan yang ditekankan pada supply function dari komoditi dan resources. Mempunya pengaruh menaikkan supply.
Kredit usahatani (KUT) yang sempat digulirkan tahun 1984/1985 melalui beberapa KUD terplih digulirkan kembali pada tahun 1998. Dasar ketentuan tentang kebijakan ini adalah SK Bank Indonesia No. 31/24.A/KEP/DIR. Tanggal 7 Mei 1998 dan SE No. 31/7/UK. Tanggal 2 Juli 1998. Kemudian diperkokoh oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/164/KEP/DIR, tanggal 8 Desember 1998, namun pada akhirnya hancur juga oleh permasalahan yang menggurita.
KUT adalah kredit modal kerja yang diberika melalui Bank pemberi kredit kepada Koperasi primer atau Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai pelaksana pemberian kredit untuk keperluan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani guna membiayai usahayani nya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura. Bertujuan untuk memberdayakan petani dalam rangka mencapai kembali swasembada pangan.
Bank pemberi kredit adalah Bank Umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998.
Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 1999, tentang perkoperasian, termasuk koperasi unit desa atau KUD selanjutnya di sebut Koperasi.
Lembaga Swadaya Masyarakat adalah suatu organisasi non pemerintah yang dibentuk oleh masyarakat dan dalam kegiatan operasionalnya tidak mencari untung (nirlaba).
Kelompok Tani adalah kumpulan petani yang dibentuk atas dasar kebutuhan bersama dan berada dalam 1 (satu) hamparan.
KUT merupakan salah satu jenis dari skim kredit program yang dicanangkan Pemerintah untuk Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah. Skim tersebut seluruhnya berjumlah 13 jenis. Kebijakan Pemerintah ini bila ditengarai merupakan kesadaran Pemimpin Negara yang terlalu dekat dengan konglomerat yang banyak utang nya di tengah-tengah krisis ekonomi yang sedang berlangsung.
KUT sebagai instrument dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Usaha-usaha yang dibiayai seperti, intensifikasi padi, palawija; dan hortikultura.
2. Jangka waktu : Maksimum satu tahun terhitung sejak akad.
3. Suku bunga sebesar, 10,5 persen (including fee bank = 2 persen, imbalan PPL = 1 persen; imbalan Koperasi/LSM = 5 persen; pembayaran premi kepada Perum PPK = 1,5 persen; dana titipan pemerintah = 1 persen).
4. Jaminan : kelayakan usaha.
5. Delivery system : Bank, Koperasi / LSM, Kelompok Tani, PPL, Dep. Koperasi (PKM) dengan prosedur : pertama, permohonan diajukan oleh Kelompok Tani dalam bentuk RDKK kepada Koperasi atau LSM. Ke dua, Koperasi atau LSM menyampaikan permohonan KUT kepada Kantor Bank setempat dalam bentuk rekapitulasi RDKK disertai dengan RDKK masing-masing Kelompok Tani. Ke tiga, penarikan kredit dilakukan oleh Koperasi/LSM sesuai dengan rencana penarikan KUT yang diajukan berdasarkan RDKK. Ke empat, untuk penarikan KUT, Koperasi/LSM harus menyerahkan surat pengakuan utang (surat aksep) yang ditandatangani oleh pengurus Koperasi/LSM.
Berbicara tentang permasalahan, kegagalan KUT dapat dilihat dari besarnya permasalahan itu sendiri. Permasalahan yang tampak itu berupa besar nya tunggakan. Permasalahan yang berkaitan dengan tujuan, memang tujuan utama sering kali terbiaskan oleh tujuan yang berorientasi kepada kepentingan politik.
Tampaknya sudah disadari oleh para pengambil kebijakan bahwa, kredit tani itu secara politis penting, tetapi secara teknis sulit dilaksanakan (R. Tjipto Adinugroho, 1973). Bila diamati lebih jauh pemkiran tentang kredit di Indonesia bersifat statis dengan tujuan terutama untuk menyelamatkan petani dari pelepas uang dan sistem ijon. Keunggulan sistem ijon ialah mudah, cepat dan tepat, sedangkan keunggulan kredit pemerintah adalah bunga murah (Mubyarto, 1989). Namun pada dasarnya bagi petani itu makin banyak sumber keredit makin baik.
Melencengnya tujuan pemberian kredit lebih disebabkan oleh adanya sistem target yang ditentukan oleh atasan. Makin besar target tercapai, makin tinggi lah prestasi pejabat yang bersangkutan, padahal target tercapai belum tentu menunjukkan keberhasilan. Persoalan diikatnya pemberian kredit dengan keharusan komoditas yang diusahakan, turut memperbesar melencengnya pemberian kredit kepada petani.
Penajaman tujuan dalam kebijaksanaan kredit pertanian ini diperlukan baik yang menyangkut aparat kelembagaan dan kelompok sasaran. Baik secara politis maupun teknis tujuan pemberian kredit itu dalah untuk mendorong motivasi petani, sehingga pada gilirannya tercipta peningkatan kesejahteraan petani yang bersifat equity.
Permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan sebenarnya tidak tampak kepermukaan. Malahan jaringan kelembagaan BIMAS Intensifikasi Pertanian tampak nya sudah mantap. Jadi permasalahan yang muncul terletak pada aktor-aktornya. Ini lah kendala yang melilit kasus KUT, yaitu adanya penyelewengan oleh oknum yang terlibat dalam proses penyaluran dan pengembalian. Katakan lah Ketua LSM yang cenderung memiliki penyakit rent seeking; sang PPL yang kurang jujur, senang melakukan fiktif tentang petani yang butuh kredit.
Solusinya di sini jelas diperlukan perbaikan sistem kontrol/kendali pada orang yang menyangkut moral, iman dan taqwa. Taqwa tidak lah sekedar baju atau pun penampilan gaya pesantren, tetapi menyangkut memenuhi aturan Allah dan menjauhi larangan Nya. Bahkan sebaik nya tidak cukup menjauhi larangan Nya tetapi kita harus mampu untuk tidak melaksanakan apa-apa yang tidak diperintahkan Nya.
Problema lainnya yang menyangkut kredit pertanian ini cukup kompleks. Di samping persoalan cost of living dan ketiadaan jaminan yang melilit petani kita, juga patut disadari bahwa kredit pertanian ini bukan lah syarat mutlak pembangunan pertanian, karena yang mutlak adalah mendorong motivasi petani untuk menerapkan teknologi (A.T. Mosher, 1978). Artinya, kredit pertaian dapat berfungsi, jika tersedia input produksi untuk dibeli secara lokal.
Bila ditelaah lebih dalam problema yang meghambat kebijaksanaan kredit di lapangan sangat lah banyak. Masing-masing barrier memiliki kaitan dengan barrier lainnya. Katakan lah, tiada nya sanksi kepada kelompok atau individu yang tidak dapat mengembalikan modal tepat waktu akan berakibat pada bantuan yang pada awalnya berupa pinjaman ini, oleh masyarakat seringkali dianggap sebagai bantuan murni.. Begitu pula ketidakberhasilan kelompok untuk mengembalikan modal ini, tidak terlepas dari proses pemanfaatan modal tersebut. Dalam hal ini adalah jenis usaha yang dipilih oleh kelompok tersebut. Idealnya jenis usaha ini ditentukan oleh kelompok (partisipatif) dan sesuai dengan kemampuan dan prospek ekonomi dari jenis usaha tersebut (Ganjar Kurnia, 1996). Jadi sebaiknya sudah harus dihindari apa itu yang bernama penyeragaman pola dan komoditas dalam kebijakan pembangunan pertanian.
Ada lagi satu hal yang patut disorot tentang penyebab KUT gagal ini. Barrier yang dimaksud adalah masuknya berbagai instansi ke pedesaan ini ada kalanya tidak diikuti dengan metode pendekatan yang sama. Sebagaimana diketahui metode pemberian modal ke pedesaan itu meliputi : sistem perguliran (revolving), semi partisipatif, kontributif, kredit (KUT), sinterklas (yang sering kali dilakukan oleh Negara donor). Jadi adanya perbedaan metode pendekatan ini selain membingungkan masyarakat, sampai tingkat tertentu dapat pula mengganggu kegiatan pembangunan secara keseluruhan. Pengalaman menunjukkan, bahwa ada beberapa kegiatan yang dirancang dengan model partisipatif, namun karena masyarakat melihat adanya beberapa kegiatan pembangunan lain yang diperoleh secara gratis dan bahkan untuk sekedar duduk pun dibayar, maka kegiatan pembangunan yang bersifat partisipatif tersebut akhirnya gagal total.
KUT sebagai produk sebuah kebijakan memiliki dampak ke berbagai fihak, baik fihak kelompok sasaran yaitu petani maupun pihak lainnya yaitu pelaku yang terlibat dalam program tersebut bahkan masyarakat desa keseluruhan.
Pihak-pihak yang mendapat side effect positif diantara nya :
  1. Petani, karena dengan adanya dana tersebut setidaknya telah membantu mereka untuk membelisarana produksi dan biaya hidup selama usaha belum menghasilkan.
  1. Pengusaha atau Lembaga yang bergerak di bidang memproduksi dan menyediakan input pertanian, dengan adanya KUT akan meningkatkan volume jual input pertanian.
  1. Lembaga yang terlibat dalam penyaluran KUT melalui income fee.
  1. Pemerintah, karena beban yang ditanggung akibat ulah sebagian besar konglomerat terlindungi oleh kemacetan pengembalian KUT.
Pihak-pihak yang mendapat side effect negative, diantaranya :
  1. Petani dan pihak lainnya, karena kejujurannya.
  1. Pemerintah, karena harus menyediakan dana untuk flafound kredit, apa lagi jika sumbernya dari utang Luar Negeri.
PENUTUP.
Beberapa problema yang melilit kebijkasanaan kredit pertanian di Indonesia, pada intinya lebih disebabkan oleh munculnya kepentingan pribadi dari orang yang tidak bermoral, akibat lemahnya sistem kontrol/kendali dan buruknya citra pemerintah yang sedang berkuasa.
Perbaikan sistem kontrol/kendali dari orang yang bermoral dilakukan tidak hanya di jajaran birokrasi, tetpi juga penting sekali ada nya di jajaran organisasi LSM dan Koperasi.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar